Cerita Perjalanan dalam Novel 99 Cahaya di Langit Eropa
“Beberapa tahun terakhir, di Indonesia bermunculan buku catatan perjalanan. Buku-buku tersebut mendapat respons yang sangat baik di kalangan pembaca Indonesia,” ujar Anis Mashlihatin, M.A., alumnus Pascasarjana Ilmu Sastra Universitas Gajah Mada.
Menurutnya, novel semacam ini bukan merupakan genre baru pada dunia sastra. Marco Kartodikromo pernah menuliskan Student Hidjo pada tahun 1918, kemudian diikuti Adi Negoro dengan novel Melawat ke Barat, dan NH. Dini menulis novel Pada Sebuah Kapal tahun 1985.
“Cerita-cerita perjalanan yang telah terbit kemudian mengisahkan orang Indonesia, biasanya menjadi minat tersendiri bagi penulis perjalanan Indonesia. Misalnya ke Eropa, mereka mengunjungi tempat-tempat asing kemudian berjumpa, berinteraksi, dan terlibat yang kemudian akan membawa pada persoalan-persoalan tertentu,” lanjutnya saat berdiskusi pada acara Forum Apresiasi Sastra ke-56 di hall kampus II Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Rabu (11/11/ 2015).
Novel 99 Cahaya di Langit Eropa tidak hanya menawarkan hubungan antara penjajah dan terjajah, tetapi lebih kompleks dengan merambah isu agama.
“Dalam hal ini, penulis Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, memosisikan Islam sebagai bagian dari identitas Indonesia, kemudian mendefinisikan kembali hubungan antara Indonesia dan Eropa,” lanjutnya lagi.
Menurutnya, novel ini menyuguhkan tiga hal penting, yaitu penggambaran tentang dunia, pernyataan diri, dan perepresentasian liyan (the other). Dengan tiga pola tersebut, kemudian akan dilihat keterkaitan antarpola dengan agenda sosial, ekonomi, maupun politis.
Di akhir acara, ia menambahkan bahwa catatan-catatan perjalanan yang ditulis oleh para orientalis menggambarkan masyarakat dan kebudayaan (Timur) sebagai masyarakat yang berkedudukan rendah dan terbelakang.
“Membesarkan Islam dengan merendahkan bangsa Indonesia maupun Barat adalah pelanggaran etis yang pernah dilakukan oleh penjajah terdahulu. Lalu, penulis tidak melawan Barat melalui Indonesia, melainkan perlawanan dilakukan dengan melalui Islam,” tutup Anis di akhir acara. (Ard)

“Mematok target di atas standar agar selalu berpikir bahwa ilmu yang kita miliki itu kurang,” ujar Diah Rizki Larasati gadis kelahiran Bantul, 2 Desember 1992.
“IPK rata-rata adalah 3,31. Naik 0,006 dari periode sebelumnya,” kata Rekotr UAD, Dr. H. Kasiyarno, M.Hum. saat memberikan sambutan di hadapan 956 wisudawan Program Sarjana dan Pascasarjana Universitas Ahmad Dahlan (UAD) periode November 2015. Acara ini berlangsung pada Sabtu (7/11/2015) di Hall A Gedung Jogja Expo Center ini
“Aktif dalam organisasi bukan berarti melupakan kewajiban sebagai mahasiswa untuk belajar,” ujar Puspa Ratna Dewi saat ditemui, Jum’at (6//11/2015).
Menurut UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, dijelaskan di pasal 19 ayat 2 bahwa psikolog memiliki kedudukan yang sama dalam kesehatan jiwa untuk melakukan diagnosis terhadap orang yang diduga mengalami ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) seperti halnya dengan dokter umum dan dokter spesialis kedokteran jiwa.
Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mengadakan diskusi ilmiah bertajuk “Peran Psikologi Forensik dalam Memenuhi Kebutuhan Penegakan Hukum”, pada Kamis, (5/11/2015) di auditorium kampus I.