Mencari Inspirasi dalam Temu Tokoh Nasional Perempuan Muda Nasyiatul Aisyiyah

Dilandasi sebagai ajang silaturahmi, berbagi motivasi, serta mencari inspirasi, acara Temu Tokoh Nasional Perempuan Muda Nasyiatul Aisyiyah diadakan dalam serangkaian kegiatan Muktamar Nasyiatul Aisyiyah (NA) ke- XIII di Yogyakarta.

Tujuan dari kegiatan temu tokoh ini adalah untuk mendapatkan berbagai inspirasi dari tokoh-tokoh nasional maupun lokal. Sehingga, peserta Muktamar mendapatkan orientasi-orientasi bermanfaat dalam bermuktamar selama empat hari.

Dengan dihadiri oleh sekitar 200 peserta, acara temu tokoh yang bertemakan “Gerakan Perempuan Muda Berkemajuan untuk Kemandirian Bangsa”, berjalan dengan lancar. Dalam acara tersebut, hadir dua pembicara, yakni Prof. Dr. H.M. Amien Rais, M.A. dan Dr. Rahmawati Husein, Ph.D.

Acara yang diselenggarakan pada Kamis (25/8/2016), dan bertempat di Aula Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Jalan Ringroad Selatan, Tamanan, Banguntapan, Bantul itu turut menghadirkan Normasari S.H., M. Hum. selaku Ketua Umum PP NA periode 2011–2016, juga Dr. Muchlas, M.T., selaku Wakil Rektor UAD. Keduanya turut memberikan sambutan.

Aryati Dina Puspitasari, M.Pd., yang merupakan salah satu Dosen Prodi Pendidikan Fisika (P.Fis) UAD, berperan sebagai moderator. Ia membuat pembicara memaparkan materinya masing-masing.

Amien Rais selaku “Bapak NA” memaparkan tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, sejatinya laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik yang sama. Bahkan, dalam al-Qur’an dan al-Hadits pun telah dijelaskan tentang karakteristik tersebut. Seperti, “Yang mukmin adalah laki-laki dan perempuan, yang harus menjaga kehormatan adalah laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya.”

“Jadi, pada intinya, setiap laki-laki dan perempuan itu berkarakter. Bukan gender yang menjadikan derajat manusia, melainkan ilmu pengetahuanlah yang menentukan terangkat derajat manusia,” ungkapnya menegaskan.

Sementara itu, di akhir pemaparan materi, Amien Rais berpesan, “Jangan ada diskriminasi dalam ber-Muhammadiyah. Karena yang paling penting dalam sebuah organisasi adalah fungsi, manfaat, dan faedah.” (AKN)

KKN PPM UAD di Godean Sukses Adakan Bazar

Bazar hasil pemberdayaan masyarakat dalam format KKN PPM, digelar di lapangan Godean. Kegiatan bazar tersebut berlangsung dari 22–28 Agustus 2016. Produk-produk yang dipajang merupakan hasil karya pendampingan mahasiswa KKN UAD terhadap masyarakat Dusun Kremen, Geniten, dan Jetis 7 Desa Sidoagung, Kecamatan  Godean, Kabupaten Sleman, DIY. Program pendampingan ini diusung oleh Nina Salamah dan Sunarti selaku dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dengan mengambil tema “Inisiasi Program Pra-nikah pada Kelompok Remaja di Desa Sidoagung, Godean”. 

Remaja desa Sidoagung dilatih untuk menyablon; membuat makanan ringan yang terbuat dari ketan; membuat kerajinan tangan seperti dompet, pita rambut, dan gelang yang terbuat dari bahan bekas. Hasil dari pelatihan yang selama ini diberikan kepada warga, dipajang dan dipasarkan dalam bazar tersebut.

Menurut Nina Salamah, program tersebut diambil karena merasa miris melihat banyak anak muda yang menikah tetapi belum siap, baik secara mental maupun finansial. Sehingga, banyak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga bahkan berujung pada perceraian. Hal ini juga disampaikan oleh Yuni. Salah satu remaja warga Sidoagung yang mendapat pelatihan.

Yuni mengatakan, “Kami merasa terbantu dengan adanya pelatihan keterampilan yang diberikan oleh mahasiswa KKN UAD. Harapannya, selain mengisi waktu luang karena putus sekolah, ke depannya hal ini dapat dijadikan sebagai bekal untuk tambahan penghasilan.”

Dr. Abdul Fadlil, M.T. selaku Wakil Rektor III UAD turut mengunjungi bazar produk hasil KKN PPM. Ia menyambut baik dan merasa bangga dengan kiprah mahasiswa serta dosen UAD di masyarakat.

Ia mengatakan, “Ke depan harus lebih banyak dosen dan mahasiswa yang melakukan pendampingan dalam pemberdayaan masyarakat. Selain bermanfaat bagi masyarakat, hal tersebut juga merupakan gerakan dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah sehingga bernilai ibadah.” (Dok)

Pascasarjana Luluskan 32 Cum Laude, 2 Mendapat IPK 4,00

 

Periode wisuda 20 Agustus  2016 pada Program Pascasarjana Universitas Ahmad Dahlan (UAD), telah berhasil meluluskan 133 mahasiswa. Sebanyak 32 di antaranya berhasil lulus dengan predikat cum laude.

Dilaporkan melalui web http://pascasarjana.uad.ac.id/, 2 wisudawan Prodi Magister Farmasi, yaitu Muhammad Reza Ramadhani dan Ana Husnayanti, meraih IPK 4,00.

Magister Farmasi sendiri berhasil meluluskan 21 mahasiswa, dengan 9 mahasiswa berhasil lulus dengan predikat cum laude.

Magister Pendidikan Fisika meluluskan 14 mahasiswa, 1 lulus dengan predikat cum laude. Magister Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) meluluskan 28 mahasiswa, 20 cum laude. Magister Manajemen Pendidikan meluluskan 9 mahasiswa, 1 mahasiswa dengan predikat cum laude. Berikutnya, Magister Psikologi Sains berhasil meluluskan 56 mahasiswa, dan 1 mahasiswa lulus dengan predikat cum laude. Magister Psikologi Profesi berhasil meluluskan 5 mahasiswa.

Secara keseluruhan , acara wisuda yang berlangsung di Jogja Expo Center (JEC) pada Sabtu (20/08/2016), telah meluluskan 1.057 wisudawan.

“Sebenarnya, yang wisuda tahun ini hanya 1.051, 6 sisanya merupakan mahawiswa yang pada periode lalu tidak ikut wisuda,” kata Ridwan selaku staf Biro Akademik dan Admisi (BAA) UAD. (Dok)

Rektor UAD Terbuka untukTimor Leste

Dr. Kasiyarno, M.Hum. selaku Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mengaku sangat terbuka jika dari pihak Timor Leste akan melakukan kerja sama dengan UAD. Hal tersebut disampaikan langsung kepada tiga perwakilan Kementrian Lingkungan Hidup Timor Leste (MCIA) saat melakukan kunjungan ke Laboratotium Penelitian Fakultas Farmasi dan Laboratorium Keliberasi dan Uji (LKU) UAD Yogyakarta Jum’at, (26/08/2016).

Hal senada juga disampaikan pihak Prodi Ilmu Teknologi Pangan UAD, yang diwakili oleh Hari Haryadi, M.Sc. Mereka siap untuk bekerja sama jika dibutuhkan.

“Saat ini kami sedang mengembangkan pangan halal. Kami fokus pada teknologi pangan lokal yang bisa dikembangkan,” terangnya.

Jika pihak Timor Leste berkenan, kata Hari, mereka siap melakukan penelitian mengenai apa pun potentensi yang ada di sana.

Kata Dr. Ernesto Montiero, M.T. sebagai perwakilan dari Timor Leste, “Kami akan sampaikan kepada pemerintah di sana, segala yang kami dapat di UAD, termasuk perihal teknologi pangan. Jika memungkinkan, dapat dilakukan penelitian tentang potensi yang ada di Timor Leste. Selain itu juga dapat diadakan pelatihan atau semacam seminar.”

Kementrian Lingkungan Hidup Timor Leste Kunjungi UAD

Didampingi Smile Groub Yogyakarta, tiga perwakilan dari Kementrian Lingkungan Hidup Timor Leste (MCIA) kunjungi Laboratotium Penelitian Fakultas Farmasi dan Laboratorium Keliberasi dan Uji (LKU) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta pada Jum’at (26/08/2016).

Margi Sasono, M.Si. selaku Direktur Penjaminan Mutu LKU menjelaskan mengenai manfaat serta cara kerja kalibrasi dan uji kepada MCIA.

“Semua alat medis harus dikalibrasi untuk mencapai kualitas standar. Alat yang digunakan oleh instansi, seperti yang digunakan oleh rumah sakit, farmasi, fisika, dan lain sebagainya, harus standar untuk mencapai mutu yang baik,” terang Margi.

LKU sendiri mempunyai visi menjadi institusi yang terpercaya dalam menyediakan layanan kalibrasi serta dapat menjawab berbagai kebutuhan akademik dan medis, dengan mengutamakan mutu maupun kepuasan pelanggan serta masyarakat.

Sementara itu, misinya adalah melakukan sistem manjemen mutu laboratorium yang berbasis pada SNI ISO/IEC 17025:2008; mengembangkan kompetensi sumber daya manusia pada bidang kalibrasi; serta mengembangkan lingkungan hidup kalibrasi sesuai dengan kebutuhan akademik, industri, dan medis.

Dr. Ernesto Montiero, M.T. perwakilan dari Timor Leste mengatakan bahwa kunjungan ini sangat menarik dan senang dengan sambutan yang diberikan UAD.

UAD Kirim 9 Mahasiswa ke Universiti Utara Malaysia

Prof. Sarbiran, Ph.D. yang merupakan Wakil Rektor Bidang Kerja Sama, secara resmi membuka pembekalan keberangkatan dan pelepasan 9 mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang mengikuti program transfer kredit selama satu semester di Universiti Utara Malaysia (UUM).

Sembilan mahasiswa itu adalah Herman Peta Permadi dan Auliya Lathifathul Wadiah (mahasiswa Program Studi Hukum), Rohisotul Mutabasimah dan Siti Hartinah (mahasiswa Program Studi Akuntansi), Taufukurrahman dan Rahmat Saleh (mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan), Rahmayani dan Febrian Eka Putra (mahasiswa Program Studi Manajemen), dan Rifki Pambudi (mahasiswa Program Studi Teknik Informatika).

 Sarbiran mengatakan, program transfer kredit satu semester merupakan salah satu bentuk realisasi MoU antara UAD dan UUM. Sebelumnya, kedua belah pihak sudah merealisasi MoU dengan program seminar bersama dan pengiriman dosen tamu.

“Dalam program ini, mahasiswa mendapatkan bebas SPP dan akomodasi di UUM. SPP dibayarkan di home university, dalam hal ini, UAD,” Terang Sarbiran di ruang serbaguna lantai 1 kampus III UAD, Jum’at (26/08/2016).

Ida Puspita, M.A. Res. selaku Kepala Kantor Urusan Internasional (KUI) UAD menjelaskan, “Mereka akan berangkat ke UUM pada 27 Agustus  2016 dan akan berada di sana sampai bulan Maret 2017.”

Lanjutnya, aktivitas kerja sama transfer kredit merupakan upaya UAD dalam rangka memperluas jenis-jenis kegiatan kerja sama dengan universitas mitra, khususnya dengan UUM. Selain itu juga memberikan international exposure minimal di negara ASEAN kepada  mahasiswa dalam rangka era Masyarakat Ekonomi ASEAN.

“Harapan ke depannya, kegiatan ini akan berkesinambungan dan bersifat timbal balik, yakni UUM akan mengirim mahasiswanya ke UAD untuk program transfer kredit serta semakin banyak program studi yang terlibat,” harap Ida Puspita.

Selain 9 mahasiswa terpilih, acara tersebut juga dihadiri oleh kepala program studi dari lima program studi yang mengirim mahasiswa dalam program ini. Ada juga dosen pendamping, dosen, dan staf KUI. (doc)

Semarak Muktamar Nasyiatul Aisyiyah ke-XIII

Dengan mengusung tema “Gerakan Perempuan Muda Berkemajuan untuk Kemajuan Bangsa”, Nasyiatul Aisyiyah hadir dalam meningkatkan kegiatan dakwahnya di masyarakat melalui proses penyelenggaraan Muktamar ke-XIII. Muktamar tersebut diselenggarakan di Yogyakarta selama beberapa hari, yakni pada Kamis-Minggu (25-28/8/2016).

Selama 4 hari itu, diagendakan 14 sidang pleno, serta 1 sidang komisi. Namun, beberapa acara telah diselenggarakan sejak Selasa-Rabu (23-24/8/2016). Di antaranya terdapat beberapa seminar, seperti seminar “Keperempuanan”, motivasi, dan lainnya.

Sebagai Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM), Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) turut andil untuk mendukung dan memberikan pelayanan terbaik dalam penyelenggaraan Muktamar Nasyiatul Aisyiyah tahun 2016 ini. Hal tersebut dibuktikan dengan diadakannya seluruh agenda di kedua PTM tersebut.

Telah diketahui, Nasyiatul Aisyiyah merupakan organisasi di bawah naungan Organisasi Masyarakat (Ormas) Muhammadiyah. Nasyiatul Aisyiyah menjadi wadah bagi para perempuan (organisasi keperempuanan) untuk berkarya dan berperan aktif dalam berdakwah dalam mengembangkan nilai keislaman kepada masyarakat, serta meningkatkan mutu ilmu pengetahuan, baik dari segi spiritual, intelektual, maupun jasmaniah.

Nasyiatul Aisyiyah didirikan di Yogyakarta pada tahun 1919 dengan nama “Siswa Praja Wanita”. Kemudian, berganti nama menjadi Nasyiatul Aisyiyah pada tahun 1931. Sumodirjo, seorang tokoh Muhammadiyah menjadi pencetus pertama pembentukan suatu perkumpulan yang seluruh anggotanya perempuan itu.

Dalam kurun waktu 97 tahun, Nasyiatul Aisyiyah telah beberapa kali berganti struktur kepemimpinan. Hingga sampai pada tahun ini, menginjak ke-XIII kalinya muktamar diadakan.

Pada Muktamar Nasyiatul Aisyiyah ke-XIII di Yogyakarta ini, dihadirkan beberapa tokoh-tokoh nasional. Seperti Drs. H.M. Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI) yang berkesempatan untuk membuka acara muktamar, Menteri Kesehatan RI, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Selain itu, turut hadir Komisi MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) RI, juga pengusaha berskala internasional.

Tidak ketinggalan, terdapat pula partisipasi dari Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Ketua Pimpinan Pusat Muhamadiyah, Dr. H. Haedar Nashier. Keduanya berkesempatan memberikan sambutan pada pembukaan Muktamar Nasyiatul Aisyiyah ke-XIII pada Kamis, (25/8/2016).

Sementara itu, untuk peserta muktamar, semuanya berasal dari Sabang sampai Merauke, yang jumlahnya mencapai 1.000 orang. (AKN)

Perkembangan Perpustakaan, Perkembangan Pola Pikir

 

            “Perpustakaan menjadi bagian penting dari perkembangan pola pikir perguruan tinggi, bukan sekadar pelengkap akreditasi perguruan tinggi,” kata Heri, yang merupakan Ketua Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (FPPTI DIY) periode 2016-2019 saat ditemui pada Kamis (25/08/2016) di kampus II unit B Universitas Ahmad Dahlan (UAD).

Acara FPPTI yang bekerja sama dengan perpustakaan UAD ini mengangkat tema “Membangun Produk dan Kolaborasi Pustakawan dan Stakeholder dalam Perguruan Tinggi”. Selain seminar yang diikuti oleh pustakawan DIY, acara tersebut juga menjadi ajang pelantikan pengurus FPPTI periode 2016-2019.

“Tema itu sekaligus menjadi salah satu upaya untuk merekatkan antarpengurus baru dan yang lama, serta terus menjalin hubungan dengan perguruan tinggi,” tanbah Heri.

Sementara itu, menurut Drs. Ida Fadjar Priyanto, M.A., Ph.D. yang merupakan Dosen Pasca Sarjana ilmu Perpustakaan UGM, menjalin hubungan berarti menjaga komunikasi. Di Yogyakarta sangat diuntungkan karena jarak perguruan tinggi berdekatan, berbeda dengan di daerah lainnya, seperti Jakarta. Baginya, membangun hubungan sama dengan membangun kekuatan stewardship, discovery, dan preservasi.

“Kolaborasi bukan hal baru dilakukan untuk peningkatan hubungan, tetapi saat ini teknologi dan budaya telah berubah. Tentu saja kita juga harus mengubah cara kolaborasi. Perkembangan teknologi akan memudahkan kita untuk menjalin hubungan karena sekarang ada WhatsApp (WA), Facebook (FB), dan media sosial lainnya yang dapat mendekatkan yang jauh,” paparnya.

Kolaborasi dapat diartikan juga sebagai tempat berkumpul di publik untuk saling membagi ilmu.

“Di situ akan banyak hal yang didapatkan untuk mengembangkan diri dan organisasi. Dalam hal ini adalah perpustakaan. Tentu saja, itu akan membangun dan meningkatkan produk kolaborasi,” tuturnya kemudian.

Di lain pihak, menurut Tole Sutikno, Ph.D., perpustakaan tidak hanya jantung ilmu pengetahuan, tetapi roh pengetahuan. Itulah yang terjadi di Malaysia, negara tetangga yang menjadi tempatnya mencari ilmu bertahun-tahun.

Dosen UAD yang menyelesaikan S3-nya di Universiti Utara Malaysia itu mengaku, perpustakaan menjadi salah satu alasannya tinggal lebih lama di Malaysia.

“Karena perpustakaan di sana lengkap dan memanjakan. Itulah yang membuat saya menulis jurnal yang sudah diindek Skopus,” kata Tole.

TKA dan Bahasa Indonesia

Sudaryanto, M.Pd.

Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UAD;

Dosen BIPA di Guangxi University for Nationalities, China, 2013-2015

 

Beberapa waktu lalu, terbetik kabar tenaga kerja asing (TKA) membanjiri Indonesia. Kabar ini menarik dari perspektif pemertahanan bahasa Indonesia bagi TKA di Indonesia. Diberitakan, TKA yang akan bekerja di Indonesia harus memenuhi syarat-syarat, salah satunya ialah bisa berbahasa Indonesia. Pertanyaannya kini, apakah pemerintah Indonesia telah konsisten melaksanakan syarat berbahasa Indonesia kepada TKA selama ini?

Sebetulnya, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam aturan tersebut, Pasal 33 ayat (1) menegaskan, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta. Perusahaan asing termasuk ke dalam lembaga swasta sebagaimana dimaksudkan dalam ayat tersebut.

Dengan begitu, perusahaan asing berikut para TKA-nya juga ikut berperan serta dalam upaya pemertahanan bahasa Indonesia. Para TKA akan berusaha belajar bahasa Indonesia dengan harapan mereka dapat berkomunikasi dengan orang Indonesia. Di samping itu, para TKA juga didorong untuk mempergunakan bahasa Indonesia yang menjadi ciri khas kebudayaan Indonesia, mengingat belajar bahasa Indonesia sekaligus belajar budaya Indonesia.

 

Pemertahanan Bahasa Indonesia

Pemertahanan bahasa Indonesia selain harus diwujudkan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia, juga harus didukung oleh perusahaan asing berikut para TKA-nya. Jika para TKA belum mampu berbahasa Indonesia, mereka wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia. Singkat kata, para TKA tetap diupayakan untuk bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Alih-alih demikian, justru yang terjadi sebaliknya. Seperti disinyalir Kridalaksana (1980), sebagian masyarakat kita lebih memilih menggunakan bahasa Inggris untuk melayani orang asing dan perusahaan asing, ketimbang bahasa Indonesia. Contohnya, di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, terdapat papan bertuliskan “Sugeng Rawuh”, “Selamat Datang”, dan “Welcome”. Seolah-olah Provinsi DIY adalah provinsi yang multibahasa (multilingual).

Kasus serupa juga terjadi di Stasiun Tugu, Yogyakarta, yang menggunakan bahasa Indonesia, Inggris, dan Jawa dalam setiap pengumuman keberangkatan kereta. Padahal, merujuk UU Nomor 24 Tahun 2009, khususnya Pasal 38 ayat (1), bahasa Indonesialah yang wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum. Intinya, bahasa Indonesia itu wajib dijunjung tinggi oleh kita.

Salah satu sarana agar para TKA dapat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia ialah dengan belajar di lembaga-lembaga kursus bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA). Di Yogyakarta, tak sedikit lembaga kursus BIPA yang memberikan pelayanan profesional berupa pembelajaran BIPA yang inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Ada Wisma Bahasa, Puri Bahasa, Alam Bahasa, Cilacs UII, Inculs UGM, dan lain-lain.

Melalui lembaga-lembaga kursus BIPA tadi, diharapkan para TKA dapat memperoleh kemampuan berbahasa dan berbudaya Indonesia dengan baik. Secara tak langsung, para TKA juga ikut mengupayakan pemertahanan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional di Indonesia. Jika para TKA sudah terlibat dalam upaya pemertahanan bahasa Indonesia, bagaimana dengan kita selaku pemilik bahasa Indonesia itu sendiri? Tentu saja, kita pun harus terpanggil untuk hal tersebut.

Sebagai catatan penutup, saya sampaikan dua hal. Pertama, bisa berbahasa Indonesia bagi para TKA di Indonesia merupakan syarat mutlak yang tak bisa ditawar-tawar. Hal ini, hemat saya, bagian integral dari salah satu butir Trisakti Bung Karno yang diucapkan oleh Presiden Jokowi, yaitu berkepribadian dengan budaya Indonesia. Bahasa Indonesia bagian dari kebudayaan Indonesia yang khas sehingga perlu dijunjung tinggi oleh kita semua tanpa terkecuali.

Kedua, lembaga-lembaga kursus BIPA dapat memfasilitasi para TKA yang ingin memiliki kemampuan berbahasa dan berbudaya Indonesia dengan baik. Yang terpenting, para pengajar BIPA menanamkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia kepada para TKA. Hanya dengan sikap tersebutlah, saya yakin, bahasa Indonesia akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dengan begitu, upaya pemertahanan bahasa Indonesia dapat terwujud nyata, bukan mimpi belaka.[]

Menyoal Rencana Pembangunan Bandara Pesisir Selatan di Kulon Progo

 

Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si.

Ketua Clinic for Community Empowerment

Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

 

Persoalan mengenai penolakan terhadap pembangunan fasilitas publik, bukan hanya milik masyarakat kawasan pesisir di Kabupaten Kulon Progo. Di daerah lain pun tidak luput dari hal tersebut.

Melihat realitas itu, dapat dicermati lebih mendalam bahwa ada problem besar yang menjerat, sehingga tak sedikit masyarakat memberontak terhadap kebijakan pengembangan fasilitas publik. Meski fasilitas publik tersebut benar-benar memberi kemanfaatan bagi khalayak, berbagai komunitas masyarakat tak mau tahu. Pendirian mereka tetap kokoh, tidak setuju jika wilayahnya diganggu dengan beragam proyek.

 

Ketidakpercayaan Pemegang Otorita

Kondisi keengganan berbagai komunitas untuk mengorbankan daerahnya digunakan untuk fasilitas publik, seolah menunjukkan menipisnya rasa kepedulian terhadap kepentingan umum, rasa sosial, dan kesetiakawanan yang telah retak.

Di samping itu, yang menjadi pertanyaan kritis adalah, apakah berbagai komunitas masyarakat mengalami hal tersebut? Ternyata jawabannya belum tentu. Bisa jadi, rasa kepedulian terhadap kepentingan umum dan kesetiakawanan masih kental. Terbukti ketika ada peristiwa bencana yang menimpa, masyarakat antusias  membantu.

Akan tetapi, ketika bersinggungan dengan kebijakan yang berasal dari pemegang otoritas kekuasaan, yang terjadi adalah perlawanan dari komunitas masyarakat. Banyaknya perlawanan itu memicu sesuatu yang harus ditelusuri lebih mendalam, yakni adanya masalah pada pemegang otoritas kekuasaan itu sendiri.

 

Adanya Kognisi Sosial

Penyebab perlawanan dari berbagai komunitas terhadap rencana pembangunan fasilitas publik, cenderung karena ketidakpercayaan terhadap pemegang otoritas kekuasaan. Ketidakpercayaan ini tumbuh disebabkan oleh kognisi sosial yang tertanam, seperti pembangunan fasilitas publik tidak sertamerta bermanfaat dan menyejahterakan masyarakat sekitar. Pembangunan fasilitas publik justru merusak kearifan lokal dan meminggirkan masyarakat setempat.

Lebih jauh dari itu, pembangunan fasilitas publik banyak yang dimanfaatkan kelompok berkepentingan tertentu sebagai proyek untuk mendulang pundi-pundi yang disimpan untuk kantong pribadi. Bukti menunjukkan para pemangku kebijakan, legislator, politisi, dan pengusaha, membangun jejaring untuk mengeruk keuntungan besar dari proyek fasilitas publik. Aroma ini ternyata tercium oleh lembaga pemberantas korupsi, sehingga tak sedikit para petinggi tersebut tertangkap KPK.

 

Kasus Pembangunan Bandara di Kulon Progo

Sama halnya belajar dari kasus rencana pembangunan bandara di Kulon Progo, problematika penolakan yang dilakukan oleh warga juga disebabkan ketidakpercayaan terhadap pemegang otorita. Menurut mereka, pembangunan bandara di Kulon Progo belum tentu menyejahterahkan masyarakat sekitar.

Bahkan, yang dikhawatirkan oleh warga adalah, dampak dari pembangunan bandara justru membuat warga akan kehilangan mata pencarian sebagai petani pesisir. Warga menggantungkan hidupnya dari lahan pasir. Sehingga, adanya bandara membuat mereka kehilangan lahan sebagai tempat satu-satunya menggantungkan hidup.

Secara kultural, seperti petani-petani lain di wilayah pesisir kabupaten Kulon Progo, mereka menjadikan lahan pesisir sebagai wadah untuk berekspresi. Sehingga, petani di pesisir Kulon Progo mengistilahkan lahan pasir sebagai ruang hidup. Warga telah berjuang amat keras mengubah lahan tandus menjadi subur, serta mengolah lahan dengan kreasi sendiri.

Hasilnya, kreasi tersebut sukses. Lahan pesisir yang dulunya tandus digarap menjadi subur. Hidup warga menjadi makmur karena berhasil menanam melon, semangka, cabe, bawah merah, dan  komoditas pertanian lainnya.

Kemapanan hidup sebagai petani itu terusik ketika warga mengetahui adanya rencana pembangunan bandara. Kecemasan yang berkembang di tengah warga tak akan bisa bertanam lagi di lahan pesisir. Warga akan kehilangan rezeki. Inilah yang menjadi salah satu alasan warga melakukan penolakan tersebut.

Memang, terlontar wacana bahwa pembangunan bandara akan melibatkan masyarakat sekitar bagi yang kehilangan lahan. Tentu wacana itu tak dipercaya warga. Alasannya adalah mengubah pola hidup tak semudah membalik tangan. Warga sudah terbiasa hidup sebagai petani dan memilih kehidupan itu karena sangat merdeka. Namun, tiba-tiba mereka akan dimasukkan dalam suatu sistem pekerjaan rutinitas kantoran. Tentu ini bukan gaya hidup yang bisa dijalani oleh mereka.

Dengan potret seperti itu, maka dapat dipahami bila warga melakukan perlawanan terhadap pembangunan bandara di Kulon Progo.

 

 

Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si.

 

Ketua Clinic for Community Empowerment

Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

 

Persoalan mengenai penolakan terhadap pembangunan fasilitas publik, bukan hanya milik masyarakat kawasan pesisir di Kabupaten Kulon Progo. Di daerah lain pun tidak luput dari hal tersebut.

Melihat realitas itu, dapat dicermati lebih mendalam bahwa ada problem besar yang menjerat, sehingga tak sedikit masyarakat memberontak terhadap kebijakan pengembangan fasilitas publik. Meski fasilitas publik tersebut benar-benar memberi kemanfaatan bagi khalayak, berbagai komunitas masyarakat tak mau tahu. Pendirian mereka tetap kokoh, tidak setuju jika wilayahnya diganggu dengan beragam proyek.

 

Ketidakpercayaan Pemegang Otorita

Kondisi keengganan berbagai komunitas untuk mengorbankan daerahnya digunakan untuk fasilitas publik, seolah menunjukkan menipisnya rasa kepedulian terhadap kepentingan umum, rasa sosial, dan kesetiakawanan yang telah retak.

Di samping itu, yang menjadi pertanyaan kritis adalah, apakah berbagai komunitas masyarakat mengalami hal tersebut? Ternyata jawabannya belum tentu. Bisa jadi, rasa kepedulian terhadap kepentingan umum dan kesetiakawanan masih kental. Terbukti ketika ada peristiwa bencana yang menimpa, masyarakat antusias  membantu.

Akan tetapi, ketika bersinggungan dengan kebijakan yang berasal dari pemegang otoritas kekuasaan, yang terjadi adalah perlawanan dari komunitas masyarakat. Banyaknya perlawanan itu memicu sesuatu yang harus ditelusuri lebih mendalam, yakni adanya masalah pada pemegang otoritas kekuasaan itu sendiri.

 

Adanya Kognisi Sosial

Penyebab perlawanan dari berbagai komunitas terhadap rencana pembangunan fasilitas publik, cenderung karena ketidakpercayaan terhadap pemegang otoritas kekuasaan. Ketidakpercayaan ini tumbuh disebabkan oleh kognisi sosial yang tertanam, seperti pembangunan fasilitas publik tidak sertamerta bermanfaat dan menyejahterakan masyarakat sekitar. Pembangunan fasilitas publik justru merusak kearifan lokal dan meminggirkan masyarakat setempat.

Lebih jauh dari itu, pembangunan fasilitas publik banyak yang dimanfaatkan kelompok berkepentingan tertentu sebagai proyek untuk mendulang pundi-pundi yang disimpan untuk kantong pribadi. Bukti menunjukkan para pemangku kebijakan, legislator, politisi, dan pengusaha, membangun jejaring untuk mengeruk keuntungan besar dari proyek fasilitas publik. Aroma ini ternyata tercium oleh lembaga pemberantas korupsi, sehingga tak sedikit para petinggi tersebut tertangkap KPK.

 

Kasus Pembangunan Bandara di Kulon Progo

Sama halnya belajar dari kasus rencana pembangunan bandara di Kulon Progo, problematika penolakan yang dilakukan oleh warga juga disebabkan ketidakpercayaan terhadap pemegang otorita. Menurut mereka, pembangunan bandara di Kulon Progo belum tentu menyejahterahkan masyarakat sekitar.

Bahkan, yang dikhawatirkan oleh warga adalah, dampak dari pembangunan bandara justru membuat warga akan kehilangan mata pencarian sebagai petani pesisir. Warga menggantungkan hidupnya dari lahan pasir. Sehingga, adanya bandara membuat mereka kehilangan lahan sebagai tempat satu-satunya menggantungkan hidup.

Secara kultural, seperti petani-petani lain di wilayah pesisir kabupaten Kulon Progo, mereka menjadikan lahan pesisir sebagai wadah untuk berekspresi. Sehingga, petani di pesisir Kulon Progo mengistilahkan lahan pasir sebagai ruang hidup. Warga telah berjuang amat keras mengubah lahan tandus menjadi subur, serta mengolah lahan dengan kreasi sendiri.

Hasilnya, kreasi tersebut sukses. Lahan pesisir yang dulunya tandus digarap menjadi subur. Hidup warga menjadi makmur karena berhasil menanam melon, semangka, cabe, bawah merah, dan  komoditas pertanian lainnya.

Kemapanan hidup sebagai petani itu terusik ketika warga mengetahui adanya rencana pembangunan bandara. Kecemasan yang berkembang di tengah warga tak akan bisa bertanam lagi di lahan pesisir. Warga akan kehilangan rezeki. Inilah yang menjadi salah satu alasan warga melakukan penolakan tersebut.

Memang, terlontar wacana bahwa pembangunan bandara akan melibatkan masyarakat sekitar bagi yang kehilangan lahan. Tentu wacana itu tak dipercaya warga. Alasannya adalah mengubah pola hidup tak semudah membalik tangan. Warga sudah terbiasa hidup sebagai petani dan memilih kehidupan itu karena sangat merdeka. Namun, tiba-tiba mereka akan dimasukkan dalam suatu sistem pekerjaan rutinitas kantoran. Tentu ini bukan gaya hidup yang bisa dijalani oleh mereka.

Dengan potret seperti itu, maka dapat dipahami bila warga melakukan perlawanan terhadap pembangunan bandara di Kulon Progo.